Rabu, 21 Desember 2011

Kesantunan Tuturan Guru sebagai Pendidik Karakter dalam Pembentukan Karakter Anak Usia Dini*

Oleh: Dina Mardiana
Interaksi antara guru dan peserta didik pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah interaksi kompleks dan menarik. Seiring dengan interaksi fisik, terjadi interaksi verbal, budaya, dan kepribadian. Kasus yang terjadi pada PAUD Karakter Pelangi Nusantara kota Semarang (tempat penulis pernah melakukan penelitian) saat seorang peserta didik berperilaku menyimpang melakukan kenakalan terhadap temannya, guru menanggapi dengan tuturan yang santun, misalnya dengan menuturkan “Astagfirullah, boleh nggak ya?” atau “Mas Daru sayangi teman”. Dengan kesantunan berbahasa, secara tidak langsung guru mengajak peserta didik berdiskusi tentang hal mana yang baik dengan meminta pendapat peserta didik tersebut. Selain itu, guru juga tidak bertindak tutur kurang santun dengan mengatakannya “Nakal” seperti yang dilakukan guru pada umumnya.
Selaras dengan deskripsi dan ilustrasi dalam penggalan percakapan tersebut merupakan data empirik yang terjadi di sebuah sekolah berbasis karakter di kota Semarang, yaitu PAUD Karekter Pelangi Nusantara. Beraneka situasi tuturan yang terjadi menggambarkan bahwa fungsi tuturan seorang guru kepada peserta didik sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter peserta didik, dalam hal ini pembentukan karakter harus dikembangkan sejak usia dini.
Seiring dengan tingginya tuntutan hidup dewasa ini, sebagai orang tua seorang ibu juga merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu mencukupi kebutuhan keuangan keluarganya. Hal tersebut membuat sebagian besar ibu rumah tangga memutuskan untuk bekerja. Tak dapat dihindari, kondisi ini membuat orang tua (terutama ibu) harus memilih untuk tidak menunggu anaknya di sekolah seperti yang lazim dilakukan oleh para ibu di masa dulu dan memercayakan untuk menitipkan buah hati mereka dengan pihak sekolah (guru).
Berkenaan dengan fenomena tersebut ditemukan beberapa kasus yang terjadi pada beberapa sekolah, misalnya saat anak diantar ke sekolah dan tidak mau ditinggal pergi oleh orang tuanya. Guru berusaha menenangkan anak dengan kata-kata yang santun dan lembut, penuh pujian dan penghargaan, sehingga si anak mulai mereda tangisnya dan mau ditinggal pergi oleh orang tuanya, bahkan si anak bersedia berpamitan kepada orang tuanya dengan bersalaman mencium tangan, memberikan kecupan di kedua pipi dan berpelukan, serta mengucapkan salam dan melambaikan tangan.
Namun, bagaimana seandainya saja guru melakukan hal yang bertentangan dengan kondisi saat si anak tersebut menangis, misalnya dengan merebut paksa anak dari pelukan orang tuanya dan langsung membawa pergi ke dalam kelas? Bisa saja peristiwa indah berpamitan antara anak dan orang tuanya tidak akan terjadi, bahkan dapat berpengaruh buruk terhadap kejiwaan seorang anak, perkembangan karakternya dapat terbentuk negatif karena kesan kasar dan kurang santun dari guru tersebut.
Kesantunan berbahasa guru diduga dapat meredam situasi yang kurang nyaman saat terjadi permasalahan yang berarti pada peserta didiknya. Dengan menuturkan bahasa yang santun diduga dapat meredam amarah dan rasa kecewa guru pada peserta didik, dan dapat membuat situasi tetap terkendali. Bahasa guru yang diucapkan secara langsung tanpa menggunakan prinsip kesantunan dapat membuat peserta didik merasa rendah diri dan  merasa dipermalukan di depan teman-temannya. Kata-kata yang negatif, seperti cemoohan dan amarah dapat membuat peserta didik tidak percaya diri. Rasa tidak percaya diri ini dapat terbawa hingga kelak peserta didik itu dewasa, dan mungkin kelak peserta didik tersebut berkembang menjadi pribadi yang tidak menyenangkan bagi diri dan lingkungannya.
Harapan para orang tua sangat besar terhadap guru saat memercayakan pendidikan anaknya di sebuah lembaga pendidikan guna pembentukan karakter yang baik bagi anak mereka, karena anak merupakan amanat Tuhan yang kelangsungan hidupnya (dalam hal kebaikan) adalah pengharapan hidup orang tua. Seperti hadits Rasul yang dikutip Al-Qarni (2008) ”Orang muslim adalah orang yang jika orang lainnya tidak merasa terganggu oleh lisan dan tangannya. Kata lisan tersebut bermakna bahwa Rasul sangat memperhatikan setiap tuturan yang diucapkan, bagaimana kesantunan bahasa kita dipelihara saat berbicara agar tidak menyakiti sesama.
Kelembutan tutur kata, senyuman manis dan tulus, sapaan-sapaan hangat yang terpuji saat bertutur merupakan hiasan-hiasan yang selalu dikenakan oleh orang-orang mulia. Guru merupakan salah satu bagian dari orang-orang yang mulia tersebut. Oleh karena itu, guru hendaknya selalu menjaga ucapannya agar senantiasa bertutur santun dan mampu memilih bahasa yang santun kepada peserta didiknya, walaupun saat dihadapkan pada perilaku peserta didik yang kurang baik.
Yang menjadi pertanyaan kita: “apakah dapat dibenarkan bila sekolah-sekolah untuk anak usia dini saat ini masih belum menerapkan hal-hal tersebut?” Banyak kita jumpai kecenderungan sekolah-sekolah untuk anak usia dini di Palangkaraya lebih menekankan kepada “prestise adu intelektual” dan mungkin juga dengan predikat sekolah favorit tetapi mengesampingkan kualitas pendidikan karakter peserta didiknya. Sebagai ilustrasi misalnya, tidak ada sambutan kedatangan saat peserta didik tiba di sekolah, seperti ucapan salam keagaamaan misalnya, guru lebih bersikap acuh tak acuh terhadap peserta didik.
Apakah seorang guru merasa rendah dan jatuh harga dirinya untuk sekadar menanti kedatangan peserta didik di pintu gerbang sekolah dengan mengucapkan “Selamat datang, selamat pagi! Wah, cantik/cakepnya anak bu guru, senyumnya mana ya?”. Kalimat sederhana yang mungkin terkesan berlebihan, tetapi tuturan yang diujarkan guru ini merupakan pemberi semangat dan rasa percaya diri terhadap peserta didik saat tiba di sekolah dan selama menjalani pembelajaran.
Padahal, menurut Megawangi (2004) pembentukan karakter anak sangat bergantung pada bagaimana menghirup “udara moral” di sekelilingnya. Seorang anak akan berada di kelas separuh hari atau bahkan ada yang sepanjang hari, yang pada situasi ini apabila gurunya dapat memberikan udara yang penuh dengan kasih sayang, kebaikan, kebajikan, dan penghormatan, maka karakter anak akan baik. Selaras dengan hal tersebut, Lickona (1991) dalam Megawangi (2004), menengarai kalau seorang guru sebagai pendidik karakter dalam mendidik karakter anak didiknya harus melakukan beberapa hal seperti (1) memperlakukan anak didiknya dengan penuh kasih sayang, adil dan hormat, (2) memberikan perhatian khusus secara individual terhadap permasalahan setiap anak didiknya dengan memberikan dorongan atau pujian yang mempunyai sentuhan personal, (3) pendidik harus menjadi panutan moral bagi peserta didiknya, dan selalu memperbaiki citra dirinya, dan (4) mampu mengoreksi perilaku murid-muridnya yang salah.
Sebagai renungan kita, Shihab dalam bukunya Lentera Hati mengungkapkan bahwa seorang anak, berapa pun usianya, adalah seorang manusia yang memiliki jiwa,  perasaan dan kpribadian (karakter). Oleh karena itu, betapa pentingnya pendidikan karakter diberikan kepada anak. Lebih lanjut Shihab mengemukakan sebuah kutipan peristiwa di masa Rasulullah Saw., pada waktu itu Ummu Fadhil bercerita: “Suatu ketika aku menimang seorang bayi. Rasul kemudian mengambil bayi itu dan menggendongnya. Tiba-tiba sang bayi pipis dan membasahi pakaian Rasul. Segera saja kurenggut secara kasar bayi itu dari gendongan Rasul. Rasul pun menegurku: “Pakaian yang basah ini dapat dibersihkan oleh air, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dalam jiwa sang anak akibat dari renggutanmu yang kasar itu?”.
Dari kutipan tersebut dapat kita ketahui bahwa fondasi membangun kesantunan pada karakter seorang anak sudah harus dilakukan sejak sang anak masih bayi. Anak tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila ia dapat tumbuh dalam lingkungan yang penuh kelemahlembutan dan  kesantunan. Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, oleh karena itu diperlukan usaha yang menyeluruh agar anak dapat berkembang dengan optimal sesuai dengan fitrahnya, dengan  karakter yang suci. Keluarga, sekolah, dan seluruh komponen masyarakat adalah pihak yang bertanggung jawab dalam usaha secara komprehensif terhadap perkembangan karakter anak.
Menurut Megawangi (2004) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk pada seseorang merupakan salah satu indikator dari kesepeluh tanda-tanda sebuah negara menuju jurang kehancuran, dan gejala itu sudah ada di Indonesia. Seperti perubahan bahasa ke arah penggunaan kata-kata kasar dan buruk di kalangan remaja, terbiasanya menggunakan bahasa “prokem” dan bahasa-bahasa kasar adalah bukti telah terjadi pergeseran sosial yang memburuk. Bukan hal seperti ini yang diharapkan akan terjadi pada anak-anak usia dini yang kelak menjadi harapan kemajuan dan peradaban yang baik suatu bangsa.
Memang, pembentukan karakter generasi penerus bangsa bukanlah pekerjaan yang mudah. Pribadi yang holistik dan komprehensif, sangat dibutuhkan di masa globalisasi sekarang dan mendatang. Oleh karena itu, mempersiapkan generasi penerus yang berkarakter harus dimulai sejak anak di usia dini.
Pihak sekolah (setelah keluarga) merupakan faktor yang paling berperan dalam membantu membentuk perkembangan karakter anak, karena kematangan emosi-sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekolah. Daniel Goelman menyimpulkan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik anak-anaknya, namun kegagalan pendidikan (karakter) dapat terkoreksi di sekolah yang menerapkan pendidikan karakter kepada anak-anak, terutama anak usia dini.
Masa kanak-kanak banyak dihabiskan di sekolah, apa yang terekam di memori sang anak adalah pengalaman-pengalaman yang diperolehnya di sekolah, yang akhirnya akan memengaruhi pada pembentukan karakternya. Guru adalah tokoh yang paling banyak menghabiskan waktu bersama peserta didiknya, karena itu guru selalu menjadi teladan dan refleksi bagi peserta didik.
Menjadikan guru sebagai pendidik karakter tentunya tidak cukup hanya membekali mereka dengan teori dan seperangkat kurikulum saja, namun juga bagaimana menanamkan pada seorang guru tentang kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa seorang guru dalam proses interaksi belajar mengajar tentunya mempunyai pengaruh terhadap perkembangan karakter peserta didiknya. Kecenderungan yang terjadi adalah guru sering mempermalukan anak di depan kelas, memarahi atau bahkan menghukumnya. Kita semua tentunya pernah melihat atau mempunyai pengalaman tentang sikap guru yang seperti itu. Sekali seorang peserta didik dipermalukan, ia akan takut dan gemetar ketika harus menjawab pertanyaan gurunya, sehingga ia menjadi tidak percaya diri untuk mengungkapkan pendapatnya di depan kelas. Hal inilah yang mungkin menyebabkan mengapa kebanyakan anak Indonesia sering malu untuk mengungkapkan pikirannya di muka umum, dan lebih cenderung menjadi anak yang tidak percaya diri.
Kesadaran pentingnya berbahasa yang santun terhadap peserta didik, khususnya pada peserta didik usia dini akan menentukan bagi perkembangan karakter atau kepribadian anak tersebut untuk masa yang akan datang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat para ahli yang menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan fisik dan perkembangan mental yang pesat, dan merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter seseorang, sehingga masa ini disebut sebagai masa keemasan (the golden age). Jadi jelas, bahwa masa usia dini (usia 0 – 8 tahun) adalah masa pembentukan karakter melalui pendidikan karakter, bukan masa di mana seorang anak dibentuk dengan “paksa” kemampuan intelektualnya.
Bahasa sebagai alat komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan sekolah. Di dalam interaksi belajar mengajar terjadi pertuturan, baik antara guru dengan siswa, maupun antar sesama siswa. Guru sebagai pribadi yang sangat berpengaruh dalam kehidupan siswa haruslah dapat menjadi teladan dalam keseharian. Dalam teladannyalah guru dapat membentuk pribadi peserta didik. Oleh karena itu, adalah penting bagi setiap guru untuk mendapatkan pendidikan tentang kesantunan berbahasa hingga menguasai kesantunan berbahasa berdasarkan teori yang logis dan ilmiah, bukan tuturan yang diujarkan tanpa konsep teori yang jelas.
Walaupun tugas guru yang salah satunya sebagai pendidik karakter hanyalah kecil, tetapi kalau seorang guru mempunyai ide yang baik dan niat baik yang tulus dalam menebarkan kebajikan, dan tentu mau menebarkan kebajikan itu kepada anak didiknya, maka bisa saja mereka (peserta didik) akan menjadi orang yang mempunyai magnet yang kuat untuk menarik orang-orang yang baik juga dan bersama-sama membuat kebajikan. Kesantunan tuturan guru adalah kata kunci dalam membentuk karakter anak didik terutama peserta didik yang berusia dini, sehingga dapat membentuk sebuah pola yang baru, yang mencirikan bangsa Indonesia yang berbeda wajahnya dari sekarang, sebuah masyarakat madani yang menjadi idaman seluruh bangsa di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar